Senin, 12 Januari 2009

Lagi-lagi Ban Kempes

Oleh: Sandy Gunarso Wijoyo, S.Kom

Pagi ini cuaca tak bersahabat. Sejak subuh, hujan sudah turun basahi seluruh rumahku.
Mulai atap sampai halaman rumah basah semua.
Tak sejengkal pun dari mereka didiamkan kering.

Semilir angin mulai ku rasakan. Sesaat ayahku membuka pintu depan. Awalnya udara terasa sejuk, namun makin dirasa tubuh ini menggigil perlahan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.00. Ku pikir sudah waktunya untuk berangkat ke kantor.
Tak disangka, rupanya ban motor depanku yang masih berusia satu hari, kempes dan nyaris rata dengan tanah.

Ohhhh.....

Celaka, aku rupanya harus berangkat menggunakan kendaraan umum yang aneh dan lama.

Keadaan yang sudah aku perdiksi sebelumnya itu ternyata benar terjadi. Setibanya aku di depan kompleks rumah, aku mulai menunggu kendaraan umum.

Semenit berlalu, kendaraan belum juga datang.
Dua puluh menit berlalu, kendaraan yang ku tunggu juga belum kunjung tiba.

Aku terus melihat jam baru ditanganku.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit.
Aku mulai kawatir dan rasa risau perlahan menyapa hatiku.

Keringat dingin yang bercampur dengan air hujan mulai membasahi tubuhku yang besar.
Dan seketika itu, aku bertambah dingin. Dingin mulai merambat dari pundakku hingga telapak kakiku.

Kondisi itu membuatku tersadar untuk segera mencari alternatif lain.
Dengan kondisi basah, aku memilih kendaraan seadanya. Dalam benakku yang terpenting adalah dapat tiba di kantor tepat waktu.

Hal itu membuat tujuanku harus berubah arah. Yang tadinya melalui jalur pluit kota, sekarang harus melalui harmoni baru menuju kota. Yang semula ingin menggunakan kendaraan ELF, sekarang harus menggunakan BUSWAY.

Bukan masalah. Pertunjukkan harus tetap berlangsung.
Setibanya aku di depan terminal Kalideres, aku bergegas menuju ke terminal busway.
Aku terkejut bukan kepalang. Ternyata ratusan orang telah menunggu di sana. Terminal seluas sepuluh kali delapan meter persegi itu sesak dengan manusia yang entah dari mana datangnya.

Aku pun mengantri dengan sabar. Karena baru pertama kali berangkat dengan Busway, aku masih tegang. Baru saja mendapatkan antrian, aku sudah segera bertanya. Setelah itu, ku beli karcis dan masuk ke dalam ruang tunggu bus.

Pikiran ku tak langsung tenang. Aku masih terus memeriksa arah tujuanku seksama. Kepalaku berputar melihat arah tujuan dari semua jalur bus yang ada. Tak terasa bus ku menuju harmoni datang. Antrian di depanku pun mulai bergerak maju. Dan akhirnya aku pun berada di dalam bus.

Awalnya sih nyaman berada di busway yang terasa dingin oleh AC yang ada tetap di atasku.
Pakaian basah dan sepatu yang enggan kering segera membuatku harus menggigil ringan di dalam bus.

Bus terus melaju dengan santai. Mungkin kecepatannya hanya kisaran duapuluh atau empatpuluh kilometer perjam. Satu persatu terminal pun dilalui.
Penumpang pun tak semuannya dianggkut bersama bus yang aku naiki.
Mereka hanya mengantri dan terus menunggu bus yang selanjutnya akan datang.

Pikiran baikku segera menarik keharuanku. Aku mulai membayangkan betapa menderitanya mereka yang harus berangkat pagi-pagi setiap hari menggunakan busway. Dan aku mengerti alasan mengapa setiap orang di dunia ini bekerja untuk membeli sebuah mobil pribadi.

Satu jam berlalu, bus yang aku tumpangi tiba di Terminal Busway Harmoni.
Wah, suasana di terminal itu lebih padat dari Terminal Kalideres.
Antrian yang semula hanya empat banjar, di sana, antrian lima banjar.
Suasana dingin yang semula memelukku erat, perlahan berubah menjadi hangat yang setia menemaniku.

Aku pun harus kembali berdiri di antrian panjang tak kunjung habis.

Selama waktu menunggu, aku tak menyadari satu hal. Barisan kaum intelek di hadapanku itu rupanya adalah barisan yang salah bagi ku. Arah ratusan orang itu rupanya menuju ke Blok M Jakarta. Sementara aku akan pergi ke arah Kota.

Untungnya, aku berniat nakal. Setelah kulihat keadaan sepi di barisan sebelah kanan ku. Aku coba untuk menyelinap dan lari ke depan.
Ternyata, kenakalanku itu justru menolongku untuk menyadari bahwa aku sudah mengantri di jalur yang salah.

Ya sudahlah, akhirnya aku terpaksa mengantri kembali di barisan panjang yang membosankan.

Tak lama aku mengantri, kurang lebih sepuluh menit berlalu, aku mendapatkan bus yang aku mau.

Dan sekejap mata, bus sudah tiba di Terminal Stasiun Kota, Jakarta.
Ku beranikan kembali untuk menyapa jam tanganku yang tampak ikut kedinginan.

Sekali lagi aku terkejut. Dari dalam jam tangan itu, aku melihat ukiran angka yang tertulis delapan lewat duapuluh empat. Dan berarti aku disisakan waktu hanya enam menit untuk sampai di kantorku.
Tubuh tambunku kembali menegang. Bukan karena rangsangan dari cuaca lagi, melainkan ketegangan karena waktu yang ku perlukan sudah habis. Dan berarti aku harus kehilangan sedikit gajiku untuk perusahaan.

Melihat kondisi itu, aku hanya pasrah. Aku yang semula ingin menggunakan kendaraan umum, kini hanya berniat untuk berjalan.
Walaupun jarak sekitar dua kilometer dari stasiun kota ke kantorku, tapi tak mengapa kaku lalui dengan berjalan kaki.

Genangan air yang tak mau beranjak, ditambah oleh awan hitam yang terus menangis, membuat tubuh ini kian menggigil.
Untungnya, aku punya kaki yang panjang. Sehingga aku dapat melangkah jauh lebih cepat.
Dua puluh menit kemudian, aku tiba di kantor.
Begitu menginjakkan kaki di atas karpet yang tertidur nyenyak, aku hanya bisa bersyukur dan menghela nafas.

Setidaknya aku sampai dengan selamat. Ya, walaupun gajiku melayang setetes, namun aku masih bisa masuk dan bekerja dengan penuh semangat.

Tidak ada komentar: